Setiap kali berjumpa dengan sahabat-sahabat pengusaha yang keyakinan spiritualnya agak kurang memadai, hampir setiap kali itu juga saya dihadang pertanyaan serupa : apakah surga itu benar-benar ada ?. Sebagai seorang yang bukan pakar agama, tentu saja kerap terperanjat ketika dihadang pertanyaan jenis ini.
Dengan tidak ada maksud untuk memberikan jawaban instan, izinkan saya membawa Anda pada tataran-tataran renungan yang sudah saya lewati. Sebagai seorang pekerja, saya sudah melalui enam dan menuju tujuh tempat kerja. Kalau pekerjaan sebagai konsultan dan pembicara publik dihitung, jumlah tempat kerja yang pernah saya lewati bahkan sudah tidak terhitung jumlahnya. Dan hampir semuanya memiliki dua bagian tempat yang serupa : surga dan neraka. Apapun nama perusahaannya, di manapun tempatnya, dan di waktu manapun ia berada, selalu saja ada pojokan tempat kerja dan tempat hidup yang lebih menyerupai surga, dan juga yang lebih menyerupai neraka. Di tempat yang menyerupai surga, ada orang-orang yang lebih banyak tertawa, bersahabat satu sama lain, saling bantu bila dibutuhkan. Di tempat yang menyerupai neraka, ada orang-orang yang saling sikut, saling menjerumuskan, intrik dan politik di mana-mana, jangankan salah, benar saja bisa menimbulkan perkara.
Setelah bosan menemukan wajah-wajah dunia yang hampir serupa di mana-mana, kadang saya merenung kembali, apakah wajah itu ada pada dunia, ataukah ia hanya cerminan dari pikiran kita manusia ? Ini yang menjadi fokus pertanyaan saya dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai suatu waktu membaca karya Krishan Chopra (Ayah kandung pemikir terkemuka Deepak Chopra). Dalam karyanya yang berjudul The Mystery And Magic of Love, ia menulis : “Heaven and hell are states of mind, different planes of consciousness”. Dengan kata lain, apa yang kita sebut dengan surga dan neraka sebenarnya tidak lebih dari sekadar konstruksi pikiran. Dan untuk sampai dalam konstruksi surga maupun konstruksi neraka, kita memerlukan pesawat kesadaran yang berbeda-beda.
Lama saya sempat dibuat tercenung oleh gelitikan pemikiran Krishan Chopra ini. Dan sempat sedikit menggoyangkan sendi-sendi keyakinan yang sempat ditanam lama oleh agama. Dengan tidak bermaksud untuk meng-claim bahwa konstruksi Chopra ini lebih tepat dibandingkan dengan konstruksi yang diajukan sejumlah agama, mari bersama-sama kita telusuri persoalan ini.
Andaikan saya dan Anda bertemu seorang wanita menangis tersedu-sedu di pinggir jalan. Atau, menemukan seorang anak yang bergerak nakalnya bukan kepalang di tengah bus umum yang sedang Anda tumpangi. Sementara, orang tuanya hanya membiarkan saja anaknya mengganggu ketenteraman umum di dalam bus. Pertanyaan titipan saya buat Anda, apakah kedua kejadian ini sepenunya baik atau sepenuhnya buruk ?
Tanpa bermaksud mengintervensi, menurut saya amat tergantung pada pesawat kesadaran kita masing-masing. Sahabat yang kesadarannya penuh dengan tulisan di mana wanita menangis umumnya karena kejadian buruk seperti disakiti suami, atau anak nakal lebih banyak terkait dengan ketidakperdulian orang tuanya, maka kedua kejadian tadi berwajah buruk. Sebaliknya, sahabat yang wilayah kesadarannya penuh dengan gambar wanita menangis karena bersyukur dengan nikmat Tuhan, atau anak nakal lebih banyak terkait dengan kreasi dan imajinasi, kedua kejadian di atas tentu saja lebih dekat dengan hal-hal positif.
Dalam tataran renungan seperti ini, mungkin layak untuk diendapkan kembali kalau sebagian besar penglihatan kita sebenarnya diproduksi pikiran dan kesadaran. Sehingga titik tolak dari setiap perubahan seyogyanya bermula dari perlunya mengelola kesadaran. Sayangnya, kesadaran bukanlah mahluk stabil yang mudah dikelola. Sebab, dalam kehidupan orang dewasa ia sudah tergambar demikian lama dan dalam kurun waktu yang panjang.
Namun seberat dan sesusah apapun, ia mesti dilakukan oleh siapa saja yang tidak mau hidupnya didikte pikiran dan kesadaran. Ada sahabat yang bertanya soal cara, dan ini bisa dimaklumi. Namun, apapun caranya, ketekunan untuk selalu menjadi pengelola – bukan pihak yang dikelola pikiran dan kesadaran – adalah hal yang teramat penting. Anda boleh saja menggunakan cara-cara yang berbeda. Kehidupan saya bertutur, pikiran lebih mudah digambar ulang melalui ketekunan doa di depan Tuhan. Lebih-lebih kalau ketekunan doa terakhir sudah sampai di tingkatan cinta bakti. Kendaraannya hanya satu : ikhlas.
Entah Anda bisa mengikuti jalan pikiran saya atau tidak, yang jelas melengkapi pendapat soal cinta bakti, ada seorang sahabat yang pernah menulis kalimat cantik nan menawan : “We find good people good, we find bad people good, if we are good enough”. Kita akan menemukan orang baik kelihatan baik, orang jahat kelihatan baik. Syaratnya cuma satu, kita menjadi manusia yang cukup baik. Begitu sampai dalam tataran di mana kita sudah cukup baik jadi manusia, siapapun manusianya, mereka senantiasa terlihat baik. Kalau demikian, bukankah Anda sudah sampai di surga ? Selamat datang di surga !. Dan yang membawa Anda ke sini bukanlah saya. Melainkan, ketekunan Anda untuk senantiasa awas akan pikiran dan kesadaran. Dalam bahasa sahabat saya, Anda sudah menjadi the master of your own mind. Kebahagiaan, kegembiraan, kedamaian, kejernihan bukanlah barang-barang mahal bagi master jenis terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.