Training Marketing HandalTraining MotivasiTraining OutboundJual Kayu Khusus FirewalkTraining Entrepreneur

Kamis, 21 Februari 2013

Dream Society 2

Oleh: Rhenald Kasali

Banyak tanggapan yang saya terima sehubungan dengan kolom serial ini. Saya ucapkan terima kasih. Tanggapan paling banyak saya terima dari penanggap dua kolom terakhir, yaitu pasar who-am-I dan pasar peace of mind. Sekarang sampailah saya untuk menyampaikan catatan penutup dari ulasan-ulasan tersebut. Beberapa pembaca menanggapi impian-impian yang tidak realistis dari sekelompok orang yang katanya kurang mempunyai self yang kuat. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan, dreamer yang tidak realistis itu bisa merusak generasi yang akan datang. Mereka berpikir, ada uang ada harga, dan ada
harga pasti ada barang. Memang betul di masyarakat kita mulai banyak beredar pemimpin uang, yaitu mereka yang mengandalkan ”apa yang bisa mereka beli (kuasai)” daripada ”apa yang mereka ketahui”. The affluent, atau orang-orang kaya yang kelebihan uang, bisa saja kehilangan pegangan manakala seluruh benda-benda duniawi begitu mudah dimiliki. Mereka lalu mencari hal-hal lain untuk membentuk dirinya.

Orang-orang tua tentu harus waspada. Mimpi yang bisa dibeli oleh orang-orang kota dewasa masa kini jauh melebihi generasi di atasnya. Tapi, apa yang bisa kita beli saat ini pada dasarnya bukanlah datang begitu saja, melainkan hasil suatu perjalanan yang panjang. Kata motivator John C. Maxwell, ”Every worthiness accomplishment has a price tag attached to it.” Pertanyaannya tentu, apakah kita bersedia membayarnya dalam bentuk kerja keras, pengorbanan, kesabaran, keberanian, dan ketekunan.

Minggu lalu di Universitas Negeri Lampung, saya bertemu dengan teman lama yang sekarang menangani job placement lulusan universitas ini. Saya agak terkejut mendengar cerita bahwa ada orang tua yang ingin memberikan mimpi-mimpinya pada anak-anaknya secara cuma-cuma. Ada seorang sarjana diterima bekerja di McDonald’s. Tentu saja bagi anak muda bekerja dan mendapatkan uang secara halal adalah suatu impian sendiri. Di Amerika Serikat, ribuan mahasiswa bekerja melayani tamu di McDonald’s, membersihkan piring, menjadi janitor (membersihkan WC) sambil menyelesaikan kuliahnya. Mereka percaya semuanya harus dimulai dari bawah. Di McDonald’s itu, cerita teman saya di Lampung, orang tua terkejut melihat anaknya sedang membersihkan kaca. Dalam kepala orang tua itu, ”Sekolah tinggi-tinggi, kok, hanya menjadi pelayan.” Si anak disuruh berhenti karena orang tua ini lupa bahwa sukses bukanlah diraih dalam sekejap, melainkan mili demi mili, bukan kilometer. Ketika orang tua merampas mimpi anak-anaknya dengan uangnya, hilanglah proses yang memperkaya si anak.

Dalam era ”industri”, negara-negara bertarung memberikan kesejahteraan material kepada rakyatnya. Seseorang dianggap miskin bila tidak mampu memperoleh benda-benda duniawi mulai dari makanan, rumah, rasa aman, hingga kesehatan. Ketika kesejahteraan bangsa itu meningkat, kendaraan dan telekomunikasi pun dimasukkan ke dalam ukuran kesejahteraan bangsa itu. Kita baru saja akan melompat ke rumah dan telekomunikasi, tapi belum tuntas masuk ke era itu bangsa kita sudah jatuh. Bangunnya kembali tentu saja sulit.

Namun, menurut Rolf Jensen, sekarang manusia bukan lagi merasa miskin dari kesejahteraan material semata. Manusia sekarang bisa merasa miskin kala mereka tidak mampu membeli story yang mampu membentuk dream mereka. Itu sebabnya story bukan hanya milik kalangan the affluent saja, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat. Harga suatu story pun sangat beragam, mulai dari yang gratis hingga harus diperoleh dengan tiket pesawat terbang. Yang jelas, manusia memerlukan story karena manusia bukanlah robot.

Karena pentingnya story itu, Gian Luigi Longinotti-Buitoni, CEO Ferrari di Amerika Serikat, menandaskan pentingnya dream marketing—suatu upaya pemasaran yang dibangun melalui dream brand. Tidak mengherankan bila Gian begitu tertarik menggarap dream brand. Ia berasal dari Italia di mana hampir semua branded global product dari negeri ini dikreasikan melalui dream, diperkaya melalui story, dan mereka membayar ribuan tokoh di seluruh dunia untuk menyerahkan dream itu ke tangan konsumen. Claudia Schiffer, Auna Nicole Smith, Laetitia Casta, dan banyak mahabintang besar lain, menyerahkan mimpi yang dibuat oleh para storyteller.

Paul Marciano, pendiri Guess, mengatakan: ”Setiap hari saya bekerja keras menyeleksi wanita-wanita cantik yang belum dikenal orang untuk menjadi Guess. Saya pernah merekrut gadis Jerman yang ketika itu belum dikenal, Claudia Schiffer. Pertama kali saya melihat dia, saya menyaksikan mimpi saya tentang Brigitte Bardot.” Semua mimpi itu, kalau disajikan dengan apik, bisa saja menghasilkan value yang luar biasa.

SUMBER: KONTAN, EDISI 37/V Tanggal 11 Juni 2001







---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami Siap Melayani Anda sebagai Inhouse Training Provider
Hubungi kami BF Institute – Your Success Solution
Inhouse and Public Training Division
(+62)  85640262068
kami siap proposal, eproposal ataupun presentasi
———————————————————————————————————————

Kunjungi Blog Kami


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.