Training Marketing HandalTraining MotivasiTraining OutboundJual Kayu Khusus FirewalkTraining Entrepreneur

Kamis, 21 Februari 2013

Dream Society

Oleh: Rhenald Kasali

Dalam bukunya yang berjudul Thingking in The Future Tense, Jennifer James menulis bahwa terdapat kecenderungan bagi manusia untuk mengagung-agungkan dan meromantiskan masa lalu. Pada zaman pemerintahan Bung Karno dan awal Soeharto banyak orang tua yang mengimpikan kembali ke ”zaman normal”. Kapan ”zaman normal” itu? Itulah zaman penjajahan Belanda. Mereka menganggap kala itu pemerintahan lebih bersih, tertib, disiplin, dan banyak hal yang menyenangkan. Mereka tidak peduli
bahwa di era Republik mereka lebih bebas dan merdeka. Yang mereka tahu itu adalah zaman tidak normal. Hal serupa juga mulai terjadi dewasa ini. Ketika para elite bertengkar terus bak anak kecil berebut mainan, mulai banyak orang yang bermimpi kembali ke era Soeharto yang stabil dengan kurs dolar kurang dari Rp 2.500. Era itu dalam literatur perilaku dikenal dengan sebutan good old days: suatu era yang indah di masa lalu. Gambaran masa lalu itu begitu indah, meski sebenarnya tidak sungguh-sungguh indah dan pasti ada cacat-cacatnya juga.

Di kampus, dosen-dosen muda tentu sangat terbiasa berdialog dengan dosen-dosen tua, profesor berambut putih yang rajin menceritakan impian-impian masa lalunya. Impian masa lalu itu tentu saja tidak selalu indah bagi orang-orang muda yang punya impian masa depan. Tapi, mereka wajib mendengarkan dan kadang dipaksa pula menerimanya; termasuk menerima jaringan kekuasaannya yang mulai memudar. Impian-impian itu tentu saja tidak selalu istimewa, tapi hierarki memaksakannya. Bagi sebagian orang, masa lalu tampaknya lebih baik dari hari ini; meski restoran tetap penuh, mal tetap ramai, ekspor naik terus, penjualan otomotif telah kembali seperti semula. Mereka tetap percaya masa lalu lebih baik.

Kebiasaan manusia yang senang mengagung-agungkan masa lalu sebenarnya telah muncul samar-samar dalam berbagai aktivitas kehidupan. Munculnya album-album nostalgia yang dulu pernah saya ulas dengan menggunakan Cohort Marketing adalah salah satu bentuknya. Lihatlah bagaimana orang-orang tua merasa begitu damai dan nyaman menyaksikan acara Tembang Kenangan yang dikemas begitu manis oleh Indosiar bersama Bob Tutupoli. Pasar kelompok ini disebut Rolf Jensen dalam Dream Society sebagai pasar Peace of Mind. Pasar kedamaian yang diperoleh dari impian-impian masa lalu, good old days.

Tahun 1985-an bank-bank besar di luar negeri sebenarnya sudah mulai menyadari pentingnya membidik segmen ini. Baby Boomers yang mulai memasuki usia 40-an sepertinya ingin kembali ke masa lalu ketika industri keuangan Amerika diguncang krisis; atau skandal Saving & Loan yang membuat mereka resah dan takut menaruh uangnya di bank.

Mengcopy tampak luar saja atau sebagian tampak dalam

Apa respons bank-bank besar kala itu? Mereka merespons dengan berkomunikasi lewat pesan good old days. Caranya? Mereka mengaku banknya sebagai bank yang konservatif. Bentuk tangible-nya dinyatakan dengan tampak luar gedung yang kuno, dengan pilar-pilar besar dan nuansa kayu di bagian dalamnya. Entah mengerti maknanya atau tidak, tahun 1980-an beberapa bank besar di sini sempat mengopi bentuk komunikasi ini. Sayang, sebagian hanya mengopi tampak luarnya (Bank Niaga) dan sebagian tampak dalamnya saja.

Pasar Peace of Mind sebenarnya juga menjadi sasaran gerakan-gerakan LSM yang berorientasi pada lingkungan hidup. Greenpeace, seperti dikutip Rolf Jensen, adalah sebuah global company. ”Tujuan” perusahaan ini adalah ”To create a green and peaceful world.” Bagi Greenpeace, dunia yang damai adalah dunia masa lalu, ketika manusia dan alam hidup menyatu dan tidak saling merusak. Alam adalah alam, dan setiap spesies dapat hidup bebas tanpa risiko penghancuran oleh tangan manusia.

Sekarang ide-ide kebersamaan bersama alam ini diangkat ke atas permukaan oleh banyak industri. Banyak hotel dan rumah makan yang didesain dengan gagasan-gagasan ini. Makanan-makanan dalam kemasan pun menyajikan tema good old days dengan hamparan sawah nan luas, ani-ani di tangan petani dengan topi lebarnya, gerobak kayu yang ditarik oleh kerbau, serta kebun buah yang dapat dipetik langsung oleh tangan manusia.

Semua begitu indah, karena otak kita punya kecenderungan mengagung-agungkan masa lalu. Semua itu punya ceritanya sendiri-sendiri. Dan, semua memerlukan story telling yang dikisahkan kembali oleh para story teller.





---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami Siap Melayani Anda sebagai Inhouse Training Provider
Hubungi kami BF Institute – Your Success Solution
Inhouse and Public Training Division
(+62)  85640262068
kami siap proposal, eproposal ataupun presentasi
———————————————————————————————————————

Kunjungi Blog Kami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.