Training Marketing HandalTraining MotivasiTraining OutboundJual Kayu Khusus FirewalkTraining Entrepreneur

Kamis, 21 Februari 2013

Masyarakat Pedagang Cendol By Gede Prama



'Mengejutkan', demikian status yang diberikan tajuk rencana Kompas tanggal 1 Agustus 1997 atas penjualan saham bank Niaga yang menjadi pembicaraan banyak kalangan itu. Demikian ramainya orang yang membicarakan soal ini, seolah-olah timbul kesan bahwa ini telah menjadi isu nasional. Melebar jauh dari sekadar isu tentang sebuah keluarga pengusaha.
Sebagai konsultan, saya sependapat dengan mereka yang mengemukakan bahwa penjualan saham bank Niaga oleh keluarga Tahija, membawa nuansa persoalan yang lain dibandingkan penjualan saham perusahaan pada umumnya. Sebabnya, selain bank Niaga terkenal sebagai bank sehat dengan kinerja yang tidak jelek, keluarga Tahija adalah salah satu diantara sangat sedikit pengusaha warisan orde lama yang masih berkibar sampai sekarang.

Dari segi manajemen, kejadian ini membawa preseden yang tidak terlalu menggembirakan. Mungkin terlalu berlebihan menyebut kasus ini sebagai cermin lemahnya manajemen pengusaha melayu. Namun, bila kasus ini diakumulasikan dengan kasus sejenis seperti pengusaha banteng yang bayangannya saja sudah tak kelihatan, teramat langkanya perusahaan melayu yang sampai di generasi kedua , masih banyaknya jumlah perusahaan yang sedikit-sedikit minta bantuan pemerintah, tidak bisa dihindari kalau ada sejumlah pihak yang meragukan kompetensi manajemen kaum melayu.

Karena keterbatasan data dan informasi, saya tidak berani membenarkan sekaligus menyalahkan sinyalemen tentang lemahnya manajemen kaum melayu tadi. Namun, pengalaman saya berinteraksi secara dekat dengan sejumlah perusahaan keluarga menunjukkan bahwa tidak sedikit pengusaha yang berhasil di bisnis, namun tidak terlalu berhasil di keluarga. Ini membawa konsekwensi yang tidak kecil terhadap kelangsungan hidup perusahaan kemudian. Begitu memasuki generasi kedua, perusahaan terlalu sibuk dengan konflik-konflik internal di puncak. Bahkan, ada yang sengaja memperlakukan perusahaan yang ditinggalkan generasi pertama sebagai sapi perah. Masih untung kalau sapi tadi diberi makan. Ada yang memerah sapi tanpa memberi makan sedikitpun. Sebagai hasilnya, kalau kita kelangkaan perusahaan yang bisa sampai ke generasi kedua dan seterusnya, saya tidak terlalu heran.

Disamping itu, lokasi kita secara geografis yang terletak di pusat lalu lintas perdagangan dunia, membuat sejarah bisnis republik ini banyak sekali berinteraksi dengan para pedagang. Akibatnya, mind set yang terbentuk sejauh ini sangat dominan diwarnai oleh mental pedagang. Hanya berani mengambil keputusan, bila untungnya sudah kelihatan di pelupuk mata. Investasi, apa lagi di sektor yang tak jelas seperti sumber daya manusia, adalah sebuah kata yang terlalu muluk bagi kaum pedagang.

Konflik internal - yang menempatkan perusahaan sebagai sapi perah - dan mental pedagang tadi kemudian berinteraksi dengan lingkungan bisnis yang hanya memberi reward pada mereka yang adaptif dan inovatif. Sebagaimana kita pelajari dari industri komputer, tiada hari tanpa penemuan baru di sektor hard ware dan soft ware. Ini terjadi bukan karena pemain-pemain di sektor ini sombong-sombongan, namun karena konsumen melalui mekanisme pasar, hanya memberi ruang hidup pada mereka yang bisa melakukan inovasi.

Oleh karena tidak ada pasar yang mau berbelas kasihan terhadap mereka yang tidak inovatif, maka dibiarkan saja tukang perah sapi yang bermental pedagang tadi bergelimpangan tanpa diselamatkan oleh siapapun. Ini yang bisa menjelaskan kenapa kita kelangkaan perusahaan yang langgeng sampai generasi kedua dan seterusnya. Kenapa bayang-bayang pengusaha banteng mulai tak kelihatan. Kenapa bank-bank pemerintah ditinggalkan bank-bank swasta. Kenapa di sektor-sektor pembentuk masa depan seperti teknologi informasi kita hanya menjadi kacung dari kekuatan-kekuatan asing. Kenapa kita merasa kecolongan setelah tahu hanya menjadi tukang jahit.

Bagi saya, ada perbedaan mendasar antara pengusaha dengan pedagang cendol di pinggir jalan. Pedagang cendol, sebagaimana kita tahu, membeli bahan hari ini, dimasak hari ini, memperoleh untung hari ini, dan dimakan hari ini. Hidup dalam pengertian mereka hanya sepanjang matahari hari ini. Bila pedagang cendol memiliki pola bisnis seperti itu, dan kemudian mudah lenyap ditiup angin persaingan, daya radiasinya hanya sebatas keluarga mereka dan segelintir konsumen yang merasa kehilangan sebentar, dan kemudian lupa oleh luasnya alternatif belanja di pasar modern.

Akan tetapi, bila pengusaha-pengusaha yang menjadi pilar-pilar perekonomian bermental seperti itu, saya khawatir kita sebagai bangsa sedang berada di ambang kebangkrutan.

Lebih-lebih bila hal terakhir ini dikaitkan dengan tuntutan-tuntutan ke depan. Kita dituntut lebih dari sekadar inovatif. Kemajuan dunia bisnis mempersyaratkan pimpinan-pimpinan puncak yang bisa membuat arsitektur sosial, yang memungkinkan kekayaan intelektual yang paling bernilai dalam bentuk kreativitas manusia, dihargai dan terkelola secara baik. Dan, hal terakhir ini memerlukan pengusaha-pengusaha yang hidupnya tidak sependek pedagang cendol di pinggir jalan.

Namun, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kita masih kelangkaan mahluk yang bernama pengusaha. Lihat saja, setiap kali ada masalah di banyak industri, hal pertama yang dilakukan adalah meminta perlindungan pemerintah. Respon pertama dari pasar perbankan yang membengkak akibat pakto adalah pembajakan manajer di mana-mana. Tidak sedikit pengusaha yang mengeluarkan biaya promosi ratusan juta perharinya, sangat pelit diajak melatih karyawannya.

Coba bandingkan antara biaya promosi yang berakibat langsung terhadap penjualan dengan investasi di sektor pengembangan dan sumber daya manusia. Bila hasilnya sangat timpang, saya khawatir kita bukannya komuniti pengusaha yang bisa diandalkan sebagai pilar-pilar perekonomian. Melainkan, sebuah masyarakat pedagang cendol, yang lebih dari cukup untuk digunakan modal guna membuat bangsa ini bangkrut suatu saat kelak.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami Siap Melayani Anda sebagai Inhouse Training Provider
Hubungi kami BF Institute – Your Success Solution
Inhouse and Public Training Division
(+62)  85640262068
kami siap proposal, eproposal ataupun presentasi
———————————————————————————————————————

Kunjungi Blog Kami





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.